Gapkindo Ungkap Sederet Masalah Komoditas Karet, Penyakit hingga Regenerasi

PALEMBANG— Komoditas karet yang selama ini menjadi salah satu sumber utama perekonomian Indonesia, termasuk di Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel), tengah menghadapi berbagai tantangan besar dalam beberapa tahun terakhir. Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel, Alex K. Eddy, mengungkapkan bahwa produksi karet alam di dalam negeri terus mengalami penurunan drastis. Dia membandingkan bahwa pada tahun 2017, volume ekspor karet Indonesia masih mampu mencapai 3,8 juta ton. Namun, pada 2024, angka tersebut anjlok lebih dari 50% menjadi hanya 1,6 juta ton. Kondisi serupa juga terjadi di Sumsel. Pada 2020, ekspor karet dari provinsi ini tercatat sebesar 918.000 ton, namun pada 2024 hanya mencapai sekitar 740.000 ton. Dia menjelaskan bahwa penyakit paling mengkhawatirkan saat ini adalah Pestalotiopsis atau penyakit gugur daun, yang menyebabkan daun pohon karet rontok dan menghambat proses fotosintesis. “Kalau tantangan ini tidak segera ditangani, Indonesia, khususnya Sumsel, berpotensi kehilangan salah satu komoditas unggulannya,” tegasnya. Selain itu, harga karet yang rendah juga menjadi kendala. Banyak petani yang tidak mendapatkan bantuan atau perlakuan terhadap tanaman yang terinfeksi penyakit, sehingga mereka mulai menebang pohon-pohon karet dan beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih menguntungkan. Meski demikian, Alex menekankan bahwa posisi karet alam sebagai bahan baku masih belum tergantikan. Karet masih dibutuhkan untuk berbagai produk seperti ban, alat-alat medis, dan lainnya. “Permintaan terhadap karet tetap ada. Karena itu, kami berharap pemerintah bisa memberikan dorongan nyata untuk keberlangsungan industri karet nasional,” ujarnya. Alex juga menyoroti kendala dari sisi peremajaan atau replanting. Menurutnya, petani karet umumnya tidak memiliki modal yang cukup untuk melakukan replanting, apalagi karena butuh waktu cukup lama hingga tanaman bisa kembali berproduksi. Tak hanya produksi, dia juga menyinggung potensi hilirisasi karet yang hingga kini belum optimal. Sebagai produsen karet alam terbesar kedua di dunia, Indonesia seharusnya mampu menghasilkan produk akhir berbahan baku karet secara mandiri tanpa harus mengandalkan impor. “Contohnya, pabrik ban pesawat memerlukan 90% bahan bakunya dari natural rubber, kenapa kita tidak bisa memproduksinya di dalam negeri? Kenapa harus dibuat di luar?” katanya. Di sisi lain, Alex juga mengungkapkan keunggulan lain dari pohon karet yang selama ini jarang diperhatikan, yaitu kemampuannya menyerap karbon. Pohon karet dinilainya memiliki kontribusi besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjaga keseimbangan lingkungan. “Jangan lupa, karet itu paru-paru dunia. Karet mampu menyerap karbon dan menghasilkan oksigen di siang hari,” jelasnya. Sementara itu, untuk menjawab berbagai tantangan ini, Alex mengapresiasi langkah International Rubber Research and Development Board (IRRDB) dan Indonesian Rubber Research Institute (IRRI) yang menyelenggarakan workshop nasional. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari (20–22 Oktober 2025) ini diisi dengan berbagai diskusi strategis, seperti pengendalian penyakit gugur daun secara terpadu, teknologi budidaya yang adaptif dan ramah lingkungan, serta pemanfaatan bahan organik dengan pendekatan ekonomi sirkular di perkebunan. Direktur PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), Tjahjanto Herawan, menambahkan bahwa workshop juga membahas kolaborasi riset internasional untuk mengembangkan varietas tanaman karet unggul yang tahan penyakit. “Dan di hari ketiga, para peserta dijadwalkan melakukan kunjungan lapangan untuk meninjau langsung penerapan teknologi pengendalian penyakit daun, pemupukan organik, dan praktik budidaya berkelanjutan,” jelasnya.

Detail

  • Tanggal 11-11-25
  • Sumber Bisnis.com